Senin, 14 Maret 2011

HUKUM BAGI WANITA HAID MASUK MESJID,MEMBACA ALQUR'AN

a. Wanita Haid Membaca Al-Qur`an
Menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, haram hukumnya wanita haid membaca Al-Qur`an. Imam Malik membolehkan membaca beberapa ayat. Sedangkan menurut Imam Dawud Az-Zahiri, boleh wanita haid membaca Al-Qur`an (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hal. 18).
Mengapa timbul perbedaan pendapat? Sebab para ulama berbeda dalam menilai hadits dalam masalah ini. Nabi SAW bersabda,”Tidaklah boleh orang junub dan juga wanita haid membaca sedikit pun dari Al-Qur`an.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sebagian ulama menganggap hadits ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah (alasan) (Kifayatul Akhyar, I/77-79; Subulus Salam, I/88). Sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadits itu bukan hadits dhaif.
Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat yang mengharamkan wanita haid membaca Al-Qur`an. Sebab meskipun sebagian ulama melemahkan hadits di atas, namun hadits tersebut dianggap hasan (cukup baik) oleh Imam As-Suyuthi, sehingga layak menjadi dalil (As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 205). Namun, yang diharamkan adalah jika wanita haid itu semata berniat membaca (qira`ah), sebagai amal ibadah. Jika, dia tidak meniatkannya sebagai bacaan ibadah, boleh hukumnya membaca Al-Qur`an. Misalnya, membaca Al-Qur`an dengan niat berdzikir, memberi nasehat atau berdakwah, menceritakan kisah, atau menghafal ayat. (As-Sayyid Al-Bakri,I’anatuth Thalibin, I/69). Hal ini sesuai hadits Nabi,”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
b. Wanita Haid Masuk Masjid
Jumhur ulama, yakni Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sepakat wanita yang haid tidak boleh berdiam di dalam masjid. Namun Imam Dawud Az-Zahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid (Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hal. 17).
Akar perbedaan pendapat itu karena para ulama berbeda pandangan mengenai hadits Nabi SAW yang berarti, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). Jumhur ulama menganggap hadits ini sahih atau hasan, sehingga mengamalkannya dengan mengharamkan wanita haid masuk dan berdiam di masjid. Namun ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai hadits yang layak sebagai hujjah. Karenanya mereka tidak mengamalkannya.
Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, karena hadits di atas sesungguhnya adalah hadits yang layak menjadi hujjah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. (Subulus Salam, I/92). Menurut Ibn Al-Qaththan, hadits ini hasan (Kifayatul Akhyar, I/80).
c. Rambut Rontok dalam Mandi Wajib
Dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut, termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39; I’natuth Thalibin, I/75). Dalilnya adalah hadits Nabi SAW,”Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka.”(HR Abu Dawud). Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok sebelum mandi wajib. Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang diterangkan di atas. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadits, atau berbeda dalam memahami pengertian hadits. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar